Go Internasional
Bagai katak dalam tempurung. Mungkin itu istilah yang tepat menggambarkan perjalanan kami hingga pertengahan 2020, ketika portfolio kelolaan kami terkonsentrasi pada saham-saham lokal di Indonesia. Home bias, ketika seorang investor memilih untuk berada di comfort zone, mengkonsentrasikan aset hanya pada negara asal, dan tidak mendiversifikasikan pada alokasi aset global.
Kecenderungan home bias ini biasa dialami investor karena faktor familiaritas, ataupun kemudahan karena di Indonesia menganut asas pajak final untuk investasi saham. Tetapi, hal ini sangat merugikan dalam jangka panjang. Seorang investor yang baik haruslah mengelola risiko dengan optimal dan menangkap peluang investasi dengan obyektif; caranya adalah dengan diversifikasi aset ke saham-saham internasional.
Ini adalah Index Fact Sheet IDX pada Desember 2019, kapitalisasi pasar terkonsentrasi pada sektor Finance dan Konsumer, dimana total keduanya merupakan 51% dari Indeks. Dapat dikatakan jika kita membeli suatu reksadana saham (yang dikelola benchmarking) atau ETF dengan benchmark IHSG, maka kinerjanya akan dipengaruhi dominan oleh kedua sektor ini. Saham-saham ini sering dikenal dengan old-economy, sementara untuk mendapatkan eksposure terhadap new-economy kita belum mendapatkannya dengan berinvestasi di IDX. Misalnya, orang sering mengatakan belilah saham yang produknya kita gunakan sehari-hari. Generasi tertentu mungkin mengasosiasikan dengan produk mie instan, snack, atau sabun. Namun, produk sehari-hari generasi sekarang lebih terasosiasi dengan subscription service seperti Netflix, mesin pencari Google, sosial media Instagram, chatting via Whatsapp. Saham seperti NFLX, GOOG, FB adalah contoh saham-saham new-economy, yang bukan hanya memiliki eksposure terhadap negara maju atau satu negara, tetapi secara global.
Alasan kedua melakukan diversifikasi adalah karena kita tidak pernah tahu masa depan. Contoh riil yang kami alami adalah kami memiliki holding pada 2 perusahaan yang hampir identik, yaitu perusahaan penyedia listrik. Kedua perusahaan diperdagangkan pada multiple yang sama menariknya di awal, sebagian besar pembangkit menggunakan fossil fuel dan keduanya sedang menjajaki energi terbarukan. Kami membeli keduanya, tetapi dengan jumlah uang yang berbeda karena ada faktor home bias. Yang terjadi 3 bulan kemudian, perusahaan yang pertama telah memberikan capital gain 50%+ sementara perusahaan yang listed di IDX hanya naik 16%! Dan ini terjadi bukan karena faktor kelangsungan usaha, karena perusahaan pembangkit yang ada di IDX ini pun sangat sehat, bahkan membagikan dividen dalam jumlah besar.
Jika kami tidak memiliki home bias, dan menempatkan secara pro-rata, kami akan memiliki outperformance 170% dibandingkan portfolio kami yang terganggu oleh faktor home bias tadi. Sayang sekali.
Oh iya, sebagai catatan, kami mengelola portfolio dengan kaidah-kaidah investasi yang teruji, bukan dengan berjudi. Yang terjadi belakangan di IDX seperti kenaikan waran yang tidak jelas faktornya, atau kenaikan saham farmasi hanya karena permainan pump and dump, atau kenaikan saham yang sok new economy tanpa ada realisasinya, tidak menjadi pertimbangan kami. Jika tidak ada info orang dalam/ insider, bagi kami itu hanyalah sebuah perjudian dengan odds yang sangat berbahaya.
Mengelola risiko dan mendapatkan return yang optimal, tanpa mengorbankan psikologi dan emosi jangka panjang, adalah tujuan kami. Portfolio internasional ini dikelola dengan mindset tersebut. Angka sharpe ratio >1 menunjukkan ekspektasi imbal hasil yang di atas risiko portfolio. Angka berikut adalah angka 30 hari terakhir dan angka sejak kami membuka account.
Sebagai penutup, mari kita lihat beberapa perbandingan berikut.
Investasi dalam 5 tahun di
IHSG vs SP500 (32% vs 88%)
sama-sama pecinta mobil…
ASII (-26%) vs TSLA (1334%)
hobi nonton..
MNCN (-50%) vs NFLX (399%)
Yuk, mulai berinvestasi dengan benar.
Selamat mencoba.